Bersepeda

Karya Ketut Santosa, terinspirasi dari relief Pura Meduwe Karang

Binatang dalam Hutan

Karya Widari - Murid Sekolah Dasar Nagasepaha

Dewi Durga

Karya Made Wijana, murid SMK Sukasada

'Singa Ambara Raja' Lambang Kota Singaraja

Karya Luh Widari, Siswa SD Nagasepaha

Sang Barata

Karya Dalang Dyah, mal untuk pengerjaan lukisan kaca.

Glass painting, Nagasepaha cultural heritage

The Jakarta Post, Jakarta | Life | Thu, October 21 1999, 7:10 AM
A- A A+

SINGARAJA, Bali (JP): The Nagasepaha village in Buleleng, north Bali, is not as fortunate as Ubud in the southern part of Bali, although the villageis home to many talented glass-painting artists.
In l927, a wayang puppet master, Jero Dalang Diah, was bold enough to create an experimental artwork -- painting wayang figures on glass, a rare painting medium in that period.

Unlike Ubud or other villages, especially those located near Denpasar, the province's capital, which rapidly grew as the island's major art centers, Nagasepaha remains unheard-of by art lovers.
Only a few know that this remote borough, seven km from Singaraja, is thecenter of glass-painting arts in Bali.

A number of artists, mostly Jero Dalang Diah's descendants, formed a unique community, which faithfully follows in the footsteps of their ancestor to produce glass paintings.
Inheriting his artistic skills, these artists are now growing as accomplished artists specialized in painting a great variety of wayang figures.

Meanwhile, other artists have also followed the glass-painting technique.The artists, who are also lecturers at the Singaraja's Teachers College, broaden the themes with more modern subjects.
Some of the finest works of glass painting, both traditional and contemporary, were displayed at the Baruna Hotel, Singaraja.

Even though the painting exhibition attracted fewer people and art loversthan those held in various art galleries in Ubud or Denpasar, these unique works were worth seeing.

Hardiman, a glass painter who is famous for his Jalak bird paintings, said, ""We want to encourage and motivate the Nagasepaha artists to preserveand to develop their artistic skills, in terms of techniques and themes.""

Nagasepaha glass-painting developed with the works of Jero Dalang, who was inspired by Japanese glass-painting art depicting a beautiful woman wearing a Japanese traditional dress, the kimono.
Jero Dalang began by experimenting with glass and various traditional painting materials like mangsi (black ashes from kerosene lamps), and Chinese ink.

His profession as a puppet master made him familiar with every figure in the wayang story.
His themes centered on portraying various wayang characters. His artisticskills developed tremendously and generated a reasonable income for his families.

Jero Dalang also transferred his painting skills to his children and relatives. For years, glass painting was their family business without any effort to develop their artistic creativity or to experiment with other themes and media.

""We were not satisfied if we painted things other than wayang figures,"" Jero Dalang once explained.
But in the l950s, after a request of a client, Jero Dalang agreed to paint wayang stories with landscapes.

Between the l950s and l960s, Nagasepaha glass paintings were quite popular among rural people, who usually loved wayang stories.

Nyoman Kuatra, a villager in Tabanan, said his father bought a glass paintings depicting the Ramayana epic, in which Hanoman delivers a golden ring belonging to Rama to his beloved wife Sinta, who was locked up by the devil king Rahwana in his palace.

""The painting was beautiful and quite inexpensive. We hung it on the wall, but I don't where it was now,"" reminisced Nyoman.

Such paintings were comparable to those created by masters in Ubud, Batuan or other parts of Bali, yet, he remembered, many people collected glass paintings for their beauty and uniqueness.
Only time will tell whether Nagasepaha glass painting will become prestigious artworks.
With the emergence of new artists who are devoted to this technique, Nagasepaha glass painting will develop in terms of techniques and themes.

It is encouraging to see a number of young artists, including Samudrawan from the Teachers' College, create contemporary glass paintings with diverse themes, from humorous to abstract. He still adapts wayang figures but adds modern elements. His painting illustrates Hanuman riding a motorcycle.

Artist Wayan Sudiarta experimented with expressive abstract painting mixing bold colors in circled forms. Urban themes are still absent from glass paintings as they were probably rooted from the agrarian Nagasepaha village.

Art lovers on the island of Bali are still waiting for the achievement and artistic endeavors of these glass painters.

The recent exhibition in Singaraja, no matter that it was deemed insignificant by many well-known art observers and art collectors, marked an important step to popularize this art form.
It is worth noting that the art of glass painting does not grow as mass products or touristic arts, like those produced in arts centers like Sukawati, Ubud, Peliatan in Gianyar regency.
Most glass paintings are exclusive works of the artists.

Lukisan Kaca Bali: Keluar dari 'Seni Pesanan' menuju 'Seni Eksperimental'

Oleh: Sugi Lanus, Peminat Lukisan Kaca

Tulisan ini dalam rangkaian Pameran Lukisan Kaca Anak-Anak Nagasepaha 'The Candidats' 
 
Titik keberangkatan

Jika kita melihat cikal bakal keberadaan lukisan kaca di Bali, akan lebih mudah memasukkannya ke dalam sejarah 'kerajinan' dibandingkan memasukkannya ke dalam sejarah 'seni rupa murni'.



Lukisan kaca pertama di Bali, yang jika kita sepakati pertama kali dibuat oleh Jro Dalang Diah dari Nagasepaha-Buleleng di tahun 1927, adalah 'lukisan pesanan'. Seperti ditulis oleh Hardiman (dosen dan peneliti lukisan kaca), Jro Dalang Diah tergerak oleh kedatangan seorang kenalannya bernama Wayan Nitia. Wayan Nitia tertarik memiliki lukisan seperti lukisan kaca bergambar perempuan Jepang (mungkin saja lukisan kaca itu tergambar perempuan Cina yang beredar di kalangan peranakan?) yang ditunjukkan ke Dalang Diah. Wayan Nitia berkata: "Apakah bisa membuat lukisan kaca seperti ini, tapi yang digambar adalah wayang?" (Demikian kira-kira percakapan mereka). Jro Dalang Diah menjawab tantangan itu dengan mencobanya. Dan ternyata, hasil percobaan itu tidak berhenti di sana, tapi akhirnya bersambung dengan karya-karya lainnya.

Tema-tema lukisan Dalang Diah ketika itu, yang selanjutnya diikuti oleh anak cucunya, adalah tema pewayangan dan alam para dewa-dewi. Pada periode awalnya, dari sebelum kemerdekaan sampai tahun 1980-an, tidak kita temui ada tema lukisan kaca Nagasepaha yang keluar tema itu. Proses pemesanan pertama adalah sebuah cerita menarik yang berkembang di keluarga Dalang Diah dan keluarga pemesannya. Ini menjadi cikal bakal pendistribusian lukisan kaca Nagasepaha pada periode awal yang berlangsung dari mulut ke mulut. Akhirnya datang pemesan dari para peminat yang melihat karya-karya awal itu, dan pada tahun 1970-an sampai 1980-an ada pedagang keliling (terutama di Buleleng) asal Nagasepaha sendiri yang menjajakan lukisan kaca Nagasepaha dari rumah ke rumah. Masa 1970-1980-an adalah masa produktif lukisan kaca di Bali.

Sampai kini masih tertinggal di beberapa rumah di Buleleng lukisan-lukisan kaca periode 1970-1980-an tersebut. Namun, lukisan-lukisan periode sebelum tahun 1976 sebagian besar pecah akibat gempa bumi (1976) menimpa Buleleng dan Bali. Sisa-sisa popularitas lukisan kaca juga bisa kita temui di Sanggah atau Mrajan, dan pura atau bangunan-bangunan suci lainnya di Bali yang memakai ornamen lukisan kaca Nagasepaha. Tren memakai ornamen lukisan kaca untuk bangunan suci hampir lenyap di Buleleng, digantikan tren ukiran pasir gaya Tejakula yang kini mendominasi pasar perenovasian bangunan suci yang terjadi dimana-mana. Jika sekarang masih ada pemesanan lukisan kaca ke pengerajin Nagasepaha, jumlahnya sangat sedikit dan bersifat sporadis. Merekapun harus mencari jalan keluar untuk bertahan.

Lahirnya generasi baru

Ketut Santosa, cucu langsung Jro Dalang Diah, masih melukis kaca, tapi dia bergerak memasuki tema-tema kerakyatan yang parodikal. Dengan tetap 'memanfaatkan' elemen-elemen lama lukisan kaca dan juga tetap memakai tokoh-tokoh dunia pewayangan, seperti Sangut, Delem, Tualen, Mredah; Santosa 'menghadirkan' mereka ke bumi. Tokoh-tokoh itupun masuk cafe atau warung, ikut demonstrasi, ikut penyuluhan KB, bahkan ikut menangkap teroris. Lukisan Santosa ini, yang bagi masyarakat Nagasepaha dianggap 'nyeleneh', dinilai sebuah 'penyegaran' di kalangan pengamat seni rupa.



Ketut Santosa, dalam posisinya sebagai pembimbing atau guru lukis kaca di salah satu sekolah dasar di desanya, mengajarkan lukisan kaca dengan 'cara bebas'. Anak-anak bimbingannya diberikan kebebasan melukis kaca dengan tema apapun, dengan teknik yang juga tidak sepenuhnya harus sama dengan generasi sebelumnya. Secara tidak langsung ia menularkan kecenderungannya yang 'parodikal tersebut ke anak-anak asuhnya. Maka, keluarlah mereka (anak-anak bimbingannya) dari tema pewayangan ke tema-tema lainnya yang akrab di tengah anak-anak, seperti: Superman berwajah wayang, robot, percakapan binatang di sebuah telaga, wajah Krishna versi film India, dan seterusnya.

Selain di Nagasepaha (Buleleng), muncul juga komunitas anak-anak yang melukis kaca dibawah asuhan pelukis Suklu di Lepang (Klungkung). Komunitas ini, dalam tempaan seorang pelukis kontemporer seperti Suklu, berkembang bukan saja ke tema-tema bebas yang lain, namun sudah sampai pada titik bagaimana mencari alternatif dalam merepresentasikan lukisan kaca di ruang publik. Anak-anak diajak melukis pada kaca pada daun jendela. Juga pada kaca-kaca lain yang melekat menjadi bagian objek tertentu.
Jika anak-anak asuhan Ketut Santosa mengeliat keluar tema-tema pewayangan, atau setidaknya melukis wayang dengan gaya parodi, maka anak-anak asuhan Suklu melanjutkannya dengan sebuah pencarian baru dalam memaknai 'ruang dan representasi'. Lukisan bukan melulu tertempel di dinding, tapi bisa saja menjadi bagian dari jendela, atau benda-benda bermateri kaca lainnya. Munculnya generasi ini (yang tidak lagi mengangkat tema wayang + bukan untuk pesanan + bukan untuk kepentingan ornamental bangunan suci) adalah tahapan lebih lanjut dari sejarah lukisan kaca yang awalnya 'seni pesanan' menjadi 'seni eksperimental'.

'Seni eksperimental' ini punya beberapa kecenderungan yang membedakanya dari periode sebelumnya: Mereka memaknai lukisan kaca bukan dengan ketat seperti generasi sebelumnya yang menjaga warna-warna tetap di dalam garis-garis (sket) yang harus diikuti, tapi mereka malah membebaskan warna dari garis dan memberikan kebebasan lelehan dan pulasan warna tumbuh dan hidup di luar kungkungan garis. Jika generasi sebelumnya melukis dengan membuat mal (model) dan garis pertama-tama ditentukan, generasi belakangan ini malah bisa melukis tanpa perlu 'bimbingan garis' yang melingkupi warna.

Garis hitam bisa saja menjadi tambahan belakangan, tapi pulasan warna dan permainan kebebasan warna datang lebih awal. Mereka mempercayakan diri pada kekuatan dan pukau warna, bukan pada keteraturan garis seperti generasi sebelumnya. Lukisan kaca 'seni eksperimental' punya daya kejut yang bisa bergerak liar. Ketika warna-warna dipulas tanpa terlebih dahulu membuat sket, pulas warna tumbuh dengan geliatnya sendiri mencari titik keseimbangan, sampai akhirnya geliat warna itu dihentikan dan dianggap selesai oleh pelukisnya. Jika generasi sebelumnya melukis dengan mal atau sket yang telah dipersiapkan dengan matang, dan mereka sudah tahu atau bisa membayangkan hasil akhir sebuah lukisan sebelum mereka memulai memoleskan warna di atas kaca, generasi ekperimental ini mempercayakan dirinya proses kreatif bawah sadar yang bebas, membiarkan dirinya larut dalam warna yang membawanya bertamasya dalam fantasia bentuk dan warna.

Mereka, baik komunitas Nagasepa dan Lepang tersebut, 'bermain-main dengan warna dan tema' dengan berasas pada keinginan pembebasan ekspresi dan keceriaan dalam melukis. Sekalipun hampir bisa dipastikan bahwa karya-karya mereka tidak bisa diterima sebagai ornament bangunan suci seperti para pendahulunya, tapi karya-karya mereka hampir bisa dipastikan mewakili 'geliat anak-anak zaman' yang darinya kita bisa bercermin bahwa keceriaan dan kebebasan ekpresi pun bisa memberikan penghiburan dan getar hati yang sangat mendalam, tidak kalah oleh getar hati yang dimunculkan tema-tema pewayangan klasik.