Jro Dalang Diah

Tempuh Hidup seperti Susun Huruf Bali


Tanya saja dalang terkenal di Bali Utara, orang pasti langsung menjawab Jro Dalang Diah dari Dusun Delod Margi, Desa Naga Sepaha, Kecamatan Buleleng. Meski seniman sepuh yang bernama asli Ketut Negara ini sudah tak aktif lagi mendalang sejak tahun 1970-an, namun namanya masih lekat dalam ingatan masyarakat Buleleng, terutama para penggemar wayang pada 1950-an dan 1960-an. Bagi generasi muda, nama Dalang Diah pun ternyata tak terlalu asing. Pasalnya, meski usianya diperkirakan sekitar satu abad, ayah delapan anak dari dua istri ini sehari-hari masih tetap melakukan kegiatan melukis wayang kaca, jenis lukisan yang dirintisnya sejak tahun 1930-an. Ia juga tetap membuat wayang kulit, merancang bade, menulis huruf Bali dan selalu terbuka menyambut tamu asing atau lokal yang kerap mengunjunginya.

Memang, ia tak mampu lagi memainkan wayang di belakang kelir, namun sejatinya ia masih kuat berbicara berjam-jam dengan suara gemuruh penuh ekspresi disertai gerak tangan lincah dan penglihatan yang tajam. Satu-satunya kelemahan alami yang tampak dari sosok seorang Dalang Diah hanya pendengarannya yang mulai terganggu akibat dimakan usia. Namun begitu, toh berbincang-bincang dengan kakek 29 cucu dan 20 buyut ini berlangsung lancar, meski berkali-kali terjadi salah sambung antara pertanyaan dan jawaban. Hebatnya, meski sering nyerocos sendiri, ternyata semua kata yang keluar dari bibir rentanya menunjukkan bahwa seniman tua ini memiliki daya ingat dan pengetahuan hidup yang luas.
Berikut petikan wawancara Bali Post (dirangkum kembali berdasarkan wawancara dalam bahasa Bali).

BISA diceritakan kisah awal Anda tertarik dengan dunia melukis?
Sebelum sekolah, saya sudah biasa melukis di atas kertas dan ikut membikin bade bersama orangtua. Ayah saya Gede Wenten memang pintar melukis dan membuat bade. Saya tak pernah diajari secara khusus, tapi saya belajar sendiri dengan meniru-niru lukisan yang dibuat ayah. Saya belajar sambil membantu orangtua menyiapkan bahan warna, kertas dan lain-lainnya. Saya lalu bersekolah pada umur sekitar 20 tahun. Biasa, dulu orang sudah besar baru masuk sekolah. Di sekolah saya tak dapat pelajaran melukis, malah saya dipesan oleh para guru untuk membuat lukisan. Kalau dapat pesanan dari guru, biasanya saya dibebaskan bolos sekolah sampai tiga atau empat hari. Mulai saat itu saya mulai terbiasa melukis.

Lalu kapan mulai melukis wayang kaca?
Sejak masih bersekolah saya sudah menyukai dunia pewayangan karena ayah juga sering membikin wayang dari kertas dan kulit sapi. Saya juga suka melukis wayang di atas kertas. Saat itu saya sudah banyak mendapat pesanan dari tetangga dan saudara-saudara di Desa Padang Bulia, Penglatan dan sekitarnya, untuk membikin lukisan wayang. Nah, setelah usai sekolah pada 1935 saya bertemu orang Jepang yang membawa lukisan kaca. Lukisan itu berupa nyonya-nyonya. Saya penasaran waktu itu. Sisi kaca yang dilukis kelihatan jelek, sementara kalau dilihat dari sisi sebaliknya kelihatan sangat bagus.

Lalu Anda belajar dari orang Jepang itu?
Bukan. Saya tak pernah belajar dari orang Jepang itu. Saya hanya minta lukisannya untuk saya pelajari sendiri. Lukisan itu saya bongkar, lalu saya pelajari bagaimana caranya menaruh warna di atas kaca lalu menumpuknya dengan warna lain agar bisa kelihatan bagus jika dilihat dari sisi sebaliknya. Dari situ saya mencoba melukis wayang, lukisan yang lebih rumit dari nyonya-nyonyaan yang dibuat orang Jepang itu. Awalnya memang sulit, namun lama-kelamaan saya malah terbiasa melukis wayang di atas kaca.

Apa bedanya melukis di atas kaca dengan melukis di atas kertas?
Tentu berbeda. Urutan dalam melukis wayang kaca dilakukan secara terbalik. Warna yang paling atas digoreskan paling awal, sementara warna yang paling dasar dilukiskan paling akhir. Kalau melukis di atas kertas, warna dasar digores paling awal, sementara warna paling atas justru dilukis paling awal. Tumpukan warnanya terbalik.

Anda bisa melakukan keduanya dengan lancar?
Ah, saya ini orang bodoh. Beloge bakat gisiang, ini pekerjaan orang bodoh. Saya dan keluarga memang ditakdirkan untuk melakukan pekerjaan bodoh. Hanya orang bodoh yang melakukan hal-hal seperti ini. Orang pintar yang sekolahnya tinggi mungkin melakukan pekerjaan yang lebih besar.

Tapi, bukankah lukisan wayang kaca ini bisa terkenal hingga di luar negeri, bahkan menjadi ciri khas lukisan Naga Sepaha?
Ida Sang Hyang Widi memang kasihan kepada saya. Anak-anak ternyata sama dengan saya. Mereka ikut belajar melukis dengan cara meniru-niru pekerjaan ayahnya. Saya tak pernah mengajarinya secara khusus. Saya bersama generasi ini kemudian memperkenalkan lukisan kaca ke daerah lain sehingga menjadi dikenal orang. Saya sekeluarga sering melakukan pameran bersama di Taman Budaya Denpasar, di Gedung Sasana Budaya Singaraja dan tempat lain. Lukisan kaca juga banyak dipajang di hotel-hotel di Buleleng dan Badung.

Siapa saja yang mengoleksi lukisan kaca Naga Sepaha?
Banyak yang tak saya kenal. Tapi banyak dari mereka datang dari luar negeri, seperti Prancis dan Belanda. Bahkan banyak dari mereka yang datang sendiri ke Naga Sepaha. Tahun ini Pemkab Buleleng juga membawa beberapa lukisan wayang untuk diikutkan dalam promosi pariwisata ke Jerman. Orang yang paling saya kenal adalah Tuan dan Nyonya Hizler. Dia orang Prancis. Dulu, mereka sering mengambil lukisan saya. Malah wayang saya juga banyak yang dibelinya. Tapi sejak Tuan Hizler meninggal, Nyonya Hizler tak pernah datang ke sini. Katanya sekarang tinggal di Tejakula.

Lalu bagaimana ceritanya Anda memulai menjadi dalang?
Mungkin karena suka kepada wayang, pada tahun 1935-an juga saya diajak belajar mendalang oleh Jero Dalang Sekar dari Desa Penglatan, Buleleng. Uniknya, baru belajar 11 kali, saya sudah diminta mendalang di depan umum di Gitgit. Sejak saat itu saya lantas terus diminta mendalang ke Penglatan, Alas Angker, Silangjana dan sampai ke Buleleng Barat di Grokgak. Sepeteng-peteng, semalam-malaman saya terus mendalang. Sebulannya mungkin hanya istirahat tiga kali, sisanya terus berjalan mendalang ke desa lain. Bahkan, bukan hanya orang melakukan upacara neres kucit (menyunat anak babi) saja mengundang saya untuk mendalang, tapi orang neres pitik (menyunat anak ayam) juga menyuruh saya mendalang. Sehingga suatu kali ketika mendalang saya membuat percakapan antara Delem dan Sangut tentang upacara neres pitik tersebut. Ceritanya si Sangut heran, dalam sejarah tak ada orang neres pitik sampai ngupah wayang. Dijawab si Delem, itu karena dalang memang harus begitu. Tak pilih-pilih jenis upacara, pokoknya ngewayang. Mendengar percakapan itu, penonton pun tertawa.

Setelah itu Anda menjadi dalang terkenal di Buleleng?
Saya memang dikasihani Ida Sang Hyang Widi. Saya tak terlalu tahu bagaimana caranya ngewayang. Tapi pas duduk di asagan (tempat ngewayang), saya langsung tahu bagaimana jalannya orang menjadi dalang. Sejak itu, dalang lain tak ada yang berani mendalang di Naga Sepaha. Makanya, untuk di Desa Naga Sepaha dan sekitarnya, orang dari sejak anak-anak sampai punya anak empat tetap suka nonton saya ngewayang.

Belakangan ini apakah pernah menonton pementasan wayang dari dalang lain?
Pernah. Waktu istri meninggal, saya minta dalang dari Desa Tamblang untuk ngewayang. Katanya itu wayang genjek. Saya tak terlalu cocok dengan pementasan wayang itu. Tak bisa membikin penonton tertawa. Padahal kalau jadi dalang, sekali saja bicara sudah harus membuat penonton tertawa. Di Desa Petandakan dan di Desa Runuh, dulu orang-orang tak suka tertawa. Tapi ketika saya mendalang mereka ternyata bisa tertawa. Itu ujiannya jadi dalang.

Jadi, kuncinya "ngewayang" itu harus bisa bikin tertawa?
Kalau ingin wayang tetap disukai, ya harus tetap membuat orang tertarik untuk menontonnya. Selain pintar menarikan wayang dan ngeragrag (menggubah) cerita, juga harus pintar menyampaikan reragragan (gubahan) yang membuat orang tergelitik untuk tertawa. Reragragan yang sesuai dengan kehidupan dan masalah-masalah yang biasa dibicarakan orang sehari-hari. Misalnya nyanyian lucu; kacang kapri pula di diwang, meli lempog di Sudaji, sapunapi nyaratan tiang, tiang belog tan pe aji. Atau, bintang siang duur bulane, nasi galih pakon-pakonang, ngudiang ilang gelanan tiange, jalan alih takon-takonan. Itu yang disenangi penonton, pembicaraan orang sehari-hari.

Setelah berhenti, apakah tradisi mendalang diteruskan oleh anak dan cucu?
Saya berhenti mendalang sejak tahun 1970-an. Anak-anak tak ada yang meneruskan. Anak cucu lebih banyak mengikuti jadi pengukir wayang, melukis wayang kaca dan membikin bade. Wayangnya pun kini tak ada lagi, dikoleksi oleh Nyonya Hizler, hanya beberapa sisanya masih disimpan di rumah. Meski setiap hari dibikin, tapi tak terlalu banyak tersisa. Banyak yang dikoleksi orang lain. Selesai satu lukisan biasanya langsung diambil orang.

Anda juga selalu menulis huruf Bali, baik di pinggir lukisan kaca dan pada lukisan kertas?
Saya memang suka menulis Bali pada setiap lukisan. Tulisan itu semacam judul. Tulisan Bali itu suatu kesimpulan dari kisah perjalanan hidup kita dalam berkesenian. Dalam menempuh hidup berkesenian, melukis atau ngewayang, sama seperti kita menulis dengan huruf-huruf Bali yang indah, rapi dan rinci. Kalau menulis kata per kata untuk jadi kalimat, kita harus memikirkan huruf-huruf apa yang akan kita bikin, bagaimana bentuknya, lengkungannya, bagaimana gantunganya dan lain-lainnya. Dalam menempuh hidup juga begitu, harus dipikirkan tahap demi tahap.

Tulisan Bali Anda bagus. Apakah juga menulis di atas lontar?
Kadang-kadang. Tapi lebih banyak menulis di atas kaca untuk memberi keterangan dalam lukisan. Menulis di kaca juga punya tantangan sendiri. Huruf-hurufnya harus ditulis terbalik karena dibaca dari sisi sebaliknya. Bikin huruf biasa saja susah, apalagi membuat kalimat terbalik.
* Pewawancara:Adnyana Ole

BIODATA
Nama                  : Jro Dalang Diah
Nama lahir           : Ketut Negara
Tempat/tgl. lahir : Nagasepaha sekitar tahun 1900-an.
Alamat                 : Dusun Delod Margi, Desa Naga Sepaha,
                             Buleleng.
Pendidikan           : SR Buleleng tamat tahun 1935
Nama istri            : Men Diah dan Dasning

Anak:
1. Luh Diah
2. Made Suri
3. Nyoman Subrata
4. Ketut Suamba
5. Ketut Rempuh
6. Ketut Sekar
7. Ketut Sandi
8. Luh Darmadi
Cucu : 29 orang
Cicit : 20 orang

Penghargaan :
1. Dharma Kusuma (2000)
2. Penghargaan Seniman Tua (1992)
3. Dharma Kusuma Madia (1987)
4. Wija Kusuma (1985)
5. Penghargaan Pelestarian Budaya dari Pemkab Buleleng (2001)
6. Penghargaan dari Departemen Perindustrian (1990)

Sumber tulisan:  Bali Post, Minggu Kliwon, 13 Juli 2003 http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2003/7/13/pot1.html

0 comments: