Bersepeda

Karya Ketut Santosa, terinspirasi dari relief Pura Meduwe Karang

Binatang dalam Hutan

Karya Widari - Murid Sekolah Dasar Nagasepaha

Dewi Durga

Karya Made Wijana, murid SMK Sukasada

'Singa Ambara Raja' Lambang Kota Singaraja

Karya Luh Widari, Siswa SD Nagasepaha

Sang Barata

Karya Dalang Dyah, mal untuk pengerjaan lukisan kaca.

JRO DALANG DIAH: PERINTIS SENI LUKIS KACA NAGASEPAHA

Oleh HARDIMAN*
Selaku Pendahuluan:
Pada Mulanya Seorang Wanita Cina di Pantai Kuta
Lempengan kaca pertama ditemukan oleh orang Italia pada abad ke-14. Orang Italia ini pula yang menemukan cat. Kemudian muncul lukisan kaca. Dari Italia kemudian menyebar ke berbagai negeri.[1] Pada abad ke-17 atau abad ke-18 lukisan kaca diperkirakan menyebar ke Iran, India, Cina, Jepang, dan kemudian ke Indonesia.
Kapan tepatnya lukisan kaca mulai masuk ke Indonesia dan dari mana asalnya teknik melukis kaca, hal ini masih perlu diadakan penelitian. Namun demikian, Jerome Samuel dari Institut Nasional des Laungues et Civilisations Orientales, Paris, yang pernah melakukan penelitian lukisan kaca di Indonesia, memperkirakan bahwa lukisan kaca paling cepat masuk ke Indonesia pada  dasawarsa terakhir abad ke-19. Menurutnya, sampai paruh pertama abad ke-19 kaca adalah sejenis bahan yang mewah dan sangat mahal, baik di Indonesia maupun di Asia, termasuk Cina dan Jepang. Jeremo Samuel pernah mencari data tentang kaca dalam arsip laporan tahunan VOC di Batavia, untuk kantor pusat di Amsterdam. Di dalam laporan itu, terdapat beberapa catatan tentang import barang-barang kaca dari Belanda atau Eropa untuk dijual atau diberikan sebagai hadiah kepada raja-raja atau sultan-sultan di Indonesia. Tapi VOC lebih banyak menjual atau memasok kaca ke India, Cina, dan Jepang, Di Indonesia sendiri kaca tetap langka sampai awal abad ke-20, kecuali untuk kalangan terbatas.[2]
Di Jawa, keberdaan lukisan kaca dapat dibuktikan dengan kehadiran Jat, seorang pelukis dari Kupang Praupan, Surabaya, yang ikut serta dalam Pasar Malam tahunan di Surabaya, Juni 1908. Keberdaan tersebut diabadikan dalam foto laporan acara tersebut. Tetapi, ada cerita lain dari pantai Kuta, Bali. Tersebutlah seorang perempuan cantik keturunan Cina. Perempuan nan jelita ini dinikahi laki-laki berkebangsaan Denmark, Mads Lange. Suatu hari, tahun 1884, perempuan cantik ini dilukis dia atas permukaan kaca oleh seorang pelukis Cina. Lukisan kaca itu, oleh berbagai kalangan dianggap sebagai lukisan kaca pertama yang ditemukan di Indonesia. Kini lukisan tersebut tersimpan di suatu museum di Denmark.[3]
Sejarah lukisan kaca Indonesia, sebagian besar masih tersembunyi. Tetapi bahwa lukisan kaca di Jawa pernah mengalami masa jaya pada tahun 1930-an hingga akhir 1950-an adalah fakta yang kerap diungkap. Pada masa itu, lukisan kaca bertalian dengan tanda status sosial tertentu. Pemilik lukisan kaca adalah mereka yang sukses berdagang, telah naik haji, atau sekurang-kurangnya telah menikah. Lukisan kaca juga berfungsi sebagai penguat hubungan batin antara pemilik lukisan kaca dengan tokoh wayang dalam lukisan yang dimilikinya.
Di Bali, tahun 1950-an hingga akhir tahun 1970-an pasar lukisan kaca adalah petani yang sukses. Para petani yang kaya itu umumnya tinggal di desa-desa di wilayah Kabupaten Buleleng. Pada waktu itu, para pelukis kaca dari Nagasepaha, Buleleng, kerap menjajakan lukisan kaca ke desa-desa di kecamatan Kubutambahan, kecamatan Tejakula, dan kecamatan Banyuatis.  Tak jarang, petani sukses itu sendiri yang datang ke desa Nagasepaha untuk memesan lukisan kaca. Bisa dimengerti mengapa pasar lukisan kaca adalah pasar aktif, ini terkait dengan citra status sosial petani (pasar) yang menjadi meningkat dengan memajang lukisan kaca di rumahnya.   
Pasar itu adalah cerita lama yang kini telah mati. Pasar lama itu di Bali kini diganti dengan pasar baru: orang asing yang mempunyai perhatian terhadap seni tradisi. Umumnya mereka adalah peneliti, antropolog, atau seniman yang punya kepentingan khusus dengan lukisan kaca. Selain orang asing tadi. ada juga sedikit  kaum intelektual lokal yang mencintai tradisi, yang kemudian mengoleksi lukisan kaca barang satu atau dua lembar saja. Tapi pasar baru ini jumlahnya sunguh amat sedikit, bisa dihitung dengan jari.  
Di Bali, hingga saat ini komunitas seni lukis kaca yang masih hidup hanyalah di desa Nagasepaha, Buleleng. Di desa yang terletak tujuh kilometer ke arah Timur dari kota Singaraja itu, terdapat belasan pelukis kaca yang aktif berkarya juga berpameran. Namun demikian, seni lukis kaca terpinggirkan oleh arus utama seni lukis masa kini. Bahkan medan sosial seni rupa Bali cenderung memosisikan seni lukis kaca sebagai seni nista, seni kelas dua, milik para pengrajin belaka.
Kendatipun lukisan kaca di Bali tidak pernah (di)hadir(kan) dalam wacana seni rupa, toh keberdaannya tetap menarik. Pertama, kemunculan seni lukis kaca di Nagasepaha, Bali, mengalami diskontinuitas atau tidak bersangkut-paut dengan pertumbuhan lukisan kaca di Jawa. Kedua, sejumlah pelukis kaca di Nagasepaha, Bali, kerap melakukan eksperimen dan eksplorasi teknik, tema, bahkan media. Kedua hal itu tak lain karena pengaruh sosok Jro Dalang Diah, sang penemu lukisan kaca di Nagasepaha, Buleleng, Bali.  

Sang Penemu :
Bakat Alam sang Jro Dalang Diah  
Pada mulanya I Ketut Negara—yang kemudian dikenal sebagai Jro Dalang Diah[4]—seorang dalang wayang kulit Bali kawakan, suatu hari tahun 1927, di rumahnya, di desa Nagasepaha, Buleleng, Bali, didatangi Wayan Nitia, seorang pecinta wayang. Wayan Nitia memesan sebuah lukisan kaca bertema wayang, sembari memperlihatkan contoh lukisan kaca buatan Jepang dengan objek perempuan Jepang berkimono. Jro Dang Diah, kelahiran 1909, adalah dalang yang membuat sendiri wayang untuk pertunjukannya. Tetapi, waktu itu, ia tak pernah membuat lukisan apapun. Seniman yang lebih tepat disebut empu itu merasa tertantang atas tawaran Wayan Nitia. Jro Dalang Diah tanpa bertimbang panjang kemudian menyanggupi pesanan itu.
Jro Dalang Diah mulailah mengamati lukisan kaca buatan Jepang itu. Mulanya, ia tak habis pikir, bagaimana sebuah gambar yang terdiri dari sejumlah warna bisa menempel di atas permukaan kaca. Didorong rasa ingin tahu, tak tanggung-tanggung, ia mengerik permukaan cat yang menempel pada lukisan itu. Lapis demi lapis cat terkuak seperti juga pengetahuannya tentang teknis lukisan kaca. Maka, mulailah sang dalang itu mencoba melukis. Selembar kaca telah ia siapkan. Mulanya ia menggunakan jelaga dengan pengencer air untuk membuat bagan wayang di atas permukaan kaca. Tetapi bahan itu tak menempel dengan baik. Kemudia ia memilih tinta cina batangan denga pengencer air. Dengan menggunakan pena, tinta cina ternyata bisa menempel dengan baik pada permukaan kaca.
Jro Dalang Diah mulai merasa senang. Tetapi, ia tak mengetahuai pewarna apakah ia bisa menempel pada kaca. Dicobanyalah cat kayu. Syukur, cat ini bisa menempel dengan baik pada permukaan kaca. Lapis demi lapis ia kerjakan. Lukisan pun rampung. Tetapi, sungguh ia tercengan. Ternyata ada sebuah gambar tangan yang terbalik, tertutup oleh badan wayang. Ia tak habis pikir. Di benaknya, sejumlah pertanyaan muncul. Di benaknya pula, sejumlah jawaban muncul menyusul. Kesalahan itu ia pahami sebab ternyata ia membuat gambar seperti pandangan biasa, seperti pandangan di atas permukaan kain. Akhirnya ia mengerti bahwa lukisan kaca adalah lukisan yang dibangun dengan cara terbalik. “Bagian gambar terdepan musti dikerjakan terlebih dahulu, kemudian bagian lain, sesuai urutan dari bagian depan ke bagian belakang, dikerjakan kemudian,” ungkap Jro Dalang Diah mengandaikan teori yang diperolehnya dari eksplorasi teknik.[5]             
Lukisan pertama karya Jro Dalang Diah, antara lain, ditandai dengan latar belakang lukisan yang rata. Semua bagain latar disapu dengan satu warna opaque. Latar belakang baginya, saat itu, adalah bidang rata tempat menempelnya pokok lukisan. Latar belakang tidak dibangun menjadi setting atau  gambaran lokasi, juga tidak dibangun sebagai pendukung suasana adegan fragmen cerita. Latar belakang semata-mata dibangun untuk memunculkan pokok lukisan. Hal ini mengingatkan kita pada citra yang muncul dari kelir wayang kulit. Bisa dimengerti mengingat Jro dalang Diah adalah seorang dalang wayang kulit Bali.
Waktu berjalan terus. Lukisan kaca pun mengalir terus dari tangannya. Baik lukisan yang lahir atas pesanan orang lain (kolektor/konsumen), maupun lukisan yang lahir atas kehendak sang pelukis. Dan, pada tahun 1950, seorang pecinta wayang dari Denpasar datang ke rumah Jro Dalang Diah, memesan sebuah lukisan. Sang pemesan itu minta agar latar belakang lukisan diisi dengan gambar pemandangan alam yang naturalistik. Jro Dalang Diah dihadapkan pada masalah: gambar pemandangan alam pada latar belakang. Ini adalah masalah baru baginya, sebab ia bukan pelukis pemandangan. Tapi, seniman lugu itu tak menyerah. Ia pun menyanggupi pesanan itu. Ada yang memperkirakan lukisan pemandangan itu datangnya dari Sokaraja (Jawa Tengah) atau Jelekong (Jawa Barat). Sejumlah akhli memperkirakan bahwa pada tahun itu lukisan pemandangan alam buatan luar Bali itu banyak beredar dan cukup populer di Bali.
Jro Dalang Diah pun berhasil menuntaskan sebuah lukisan wayang dengan latar belakang pemandangan alam yang naturalistik. Secara kebentukan  tak ada kaitan antara pokok lukisan yang dekoratif dengan latar belakang yang naturalistik. Secara isi, juga tak ada hubungan antara pragmen Ramayana atau Mahabrata dengan pemandangan pesawahan dan air terjun. Dua pokok itu adalah dua unit yang berdiri sendiri. Sejak itu, mengalirlah pesanan lukisan kaca dengan gaya “campuran” itu. Bahkan pemerintah daerah setempat mendorong pertumbuhan realitas estetis “campuran” itu.
Pembaharuan:
Dari Brukat Tranparan hingga Esek-esek di Kafe Jalanan
Jro Dalang Diah yang hanya tamatan Sekolah Rakyat (SR) adalah penemu lukisan kaca di desa itu. Ia mulai menularkan temuannya kepada anak-anak, cucu, bahkan para tetangganya. Hingga kini tercatat belasan pelukis yang telah memiliki nama muncul atas bimbingan Jro Dalang Diah. Seperti umumnya seni tradisi di Bali, seni lukis kaca berkembang menjadi seni milik komunitas. Para pelukis dari desa ini misalnya, tidaklah terlalu mementingkan ekspresi pribadi pada karyanya. Lukisan bagi mereka adalah pernyataan kolektif yang nilai dan maknanya diperoleh dan diperuntukkan bagi komunitasnya. Dan, sejalan dengan nilai dan makna itu pulalah, Jro dalang Diah membangun komunitasnya. Ia dengan rajin menceritakan teknik dan terutama narasi dari lukisannya kepada siapa saja yang datang ke rumahnya. Bahkan pada acara bazar desa, acara tahunan yang digelar di halaman balai desa, Jro Dalang Diah menggelar lukisan-lukisannya di atas meja atau di atas tikar. Lalu ia bercerita seperti mendalang dengan lukisan kaca. Apresiasi, dengan demikian, dibangun juga oleh Jro Dalang Diah.
Masyarakat penikmatnya adalah masyarakat di desa itu. Masyarakat ini kemudian tumbuh menjadi kolektornya. Mulanya, para penduduk desa Nagasepaha yang cukup mampu secara ekonomi memesan lukisan kaca untuk hisan praba atau piasan.[6] Tetapi kemudian, lukisan kaca tak hanya dipergunakan sebagai bagian kebutuhan sakral saja. Lukisan kaca pun dinikmati masyarakat Nagasepaha sebagai bagian dari elemen estetis rumah tinggal. Sebuah wilayah profan. Dari desa inilah lukisan kaca menyebar ke desa-desa sekitar, bahkan ke berbagai pelosok di wilayah Bali Utara. Desa Nagasepaha pun kemudian identik dengan seni lukis kaca. Sekarang, di Bali, orang menyebut Nagasepaha maka ingatannya terkunci pada lukisan kaca.
Seperti umunya masyarakat Bali Utara, para pelukis seni lukis kaca Nagasepa fleksibel pada pembaruan dan perubahan dengan tetap mempergunakan daya kritisnya. Suatu hari, sekitar tahun 1980-an, sekelompok dosen PSSRD Unud datang ke Nagasepaha. Para dosen itu mengajarkan teknik menyamblon di atas permukaan kaca. Bertimbang pada bentuk wayang yang pakem atau telah terpola, sablon dipandang sebagai jalan pintas untuk mempercepat proses produksi. Tetapi, para pelukis kaca Nagasepaha itu menolak ajaraan itu. Sablon, katanya hanya menghasilkan bentuk yang sama persis sampai ke detailnya. Pelukis Nagasepaha itu menilai bahwa konsep sablon tak memberinya greget pada setiap garis, cawi, dan sigar.[7]
Dini tahun 1990, sejumlah dosen Seni Rupa STKIP Negeri Singarja (kemudian berubah menjadi IKIP Negeri Singaraja, kini menjadi Undiksha) melakukan penelitian tindakan di desa Nagasepaha. Para pelukis otodidak ini dikenalkan pada khasanah seni hias lokal yang terdapat pada prasi[8] dan relief pura di Bali utara. Pengenalan pada prasi dan relief itu dimaksudkan sebagai tanda pengingat bahwa Buleleng punya khasanah rupa lokal yang khas. Prasi dan relief khas Bali Utara itu adalah kekayaan rupa yang bisa dikutip untuk lukisan kaca. Rupa prasi dan relief itu dicoba diterapkan pada latar belakang lukisan. Para pelukis di bawah asuhan Jro Dalang Diah dikenalkan pada rupa dekoratif motif awan-awanan, api-apian, batu-batuan, tumbuh-tumbuhan, rerumputan, pohon bunga, dan sebagainya. Penelititian tindakan ini mendapat respon positif dari Jro Dalang Diah dan para pelukis kaca Nagasepaha itu. Maka sejak itu lahirlah gaya lukisan kaca bertema wayang dengan setting dekoratif yang secara artistik memiliki kesatuan.[9]   
Gaya ungkap seni lukisa kaca Nagasepaha yang secara kolektif memelihara bahasa rupa yang telah menjadi dialeknya, ternyata melahirkan juga idiolek pada beberapa pelukis. Didorong oleh keteladanan Jro Dalang Diah yang sering melakukan eksperimen dan eksplorasi media, teknik, dan gaya, maka lahirlah idiolek-idiolek khas pribadi.  I Kadek Suradi (25 tahun), I Nengah Silib (36 tahun), I Ketut Samudrawan (30 tahun), dan I Ketut Santosa (37 tahun) adalah pelukis-pelukis yang telah memiliki ideoleknya sendiri yang membuat mereka lebih menonjol dibandingkan rekan-rekannya.
I Kadek Suradi banyak membuat lukisan kaca dengan pola hias yang dihasilkan dari jejak cipratan di atas permukaan kain brukat yang kerawang. I Nengah Silib banyak membuat lukisan kaca dengan cawi dan sigar tak beraturan jejak dari penggunaan spidol permanen yang hampir kering. I Ketut Samudrawan membuat lukisan kaca dengan subject matter non wayang yaitu sosok perempuan Bali masa kini dengan pendekatan gaya yang cenderung realistik. I Ketut Santosa merambah wilayah tema non wayang dengan tema sosial kontemporer semacam demo, judi, teroris, dan dunia esek-esek kafe jalanan.


Jro Dalang Diah sendiri, sejak beberapa tahun terakhir ini banyak membuat lukisan di atas permukaan tripleks. Bertimbang pada kemampuan motoriknya yang tambah merosot, yang membuat ia tak sanggup lagi menggoreskan pena di atas permukaan kaca yang licin itu, maka ia memilih triplkeks yang kesat untuk dilukis. Lukisan di atas tripleks ini umunya berisi sosok tunggal sebuah wayang dengan ukuran bidang gambar yang relatif kecil. Jro Dalang Diah, kini dalam usianya yang hampir menginjak seratus tahun, memang tambah renta. Ia yang kini tak sanggup lagi makan nasi — dan sebagai gantinya hanya makan mie instan plus anak tikus mentah-mentah  — di desanya yang sepi itu,  tetap melukis, tetap bercerita tentang wayang, tetap bersemangat sebagai seniman dan guru sekaligus.
Selaku Penutup:
Kesepian Itu Terus Berlanjut
Seni lukis kaca adalah benda yang menyimpan muatan hubungan manusia dengan Tuhan. Ia adalah media tentang bagaimana menjalani kehidupan yang benar. Ia adalah refleksi kehidupan manusia. Tegasnya, ia adalah teks budaya kita hari ini. Ia adalah bening. Namun, seni lukis kaca yang bening secara fisik dan, terutama, bening secara muatan itu, telah lama dan tetap termarjinalkan. Jauh dari pisau-pisau analisis para ktitikus seni, jauh dari gembar-gembor media masa. Jauh dari genggaman para kolektor kakap. Jauh dari angka-angka di Balai Lelang. Lukisan kaca, sekalipun bening, tetap hening. Ia kesepian di tengah-tengah gemuruhnya pasar wacana dan wacana pasar seni rupa di Bali. Kesepian seperti kesepiannya seorang Jro Dalang Diah, yang tinggal di sebuah desa di Bali utara itu, yang jauh dari hiruk-pikuk pariwisata dan gemerincing dolar. []

Catatan:

[1] Sanento Yuliman, “Bersatu dengan Rakyat Jelata,” TEMPO, No. 33, Tahun xv, 1986.[2]  Lihat wawancara Hairus Salim HS dan Picuk Suroto dengan Jerome Samuel, “Lukisan Kaca dan Masyarakat yang Berubah,”, GONG, No 73/VII/2005. hal. 16.[3] Wahyono, “Cermin Sejarah Lukisan Kaca, ”Pameran Kaca-kaca Berlukisan Tradisional Jawa Tengah (Katalog), (Jakarta: Intisari, 1992). [4] Di Bali, Jro Dalang adalah sebutan atau semacam gelar bagi seseorang yang berprofesi sebagai dalang; sedangkan Diah adalah nama anak pertama sang dalang itu. Jro Dalang Diah dengan demikian adalah panggilan kehormatan untuk I Ketut Negara yang kemudian menjadi nama populer. [5]  Lihat Hardiman, dkk., “Seni Lukis Kaca Nagasepaha Buleleng,” (Laporan Penelitian, Universitas Udayana, Denpasar, 1992), hal. 21-27.  Lihat juga Hardiman, “Seni Lukis Kaca Nagasepaha: Kesepian di Balik Bening Kaca,” GONG, No. 73/VII/2005. hal 14-15. [6] Praba adalah dinding kayu pada Bale Dangin (tempat upacara keluarga di Bali). Upaca yang dilangsungkan di Bale Dangin meliputi upacara kelahiran hingga kematian manusia. Piasan adalah dinding kayu yang terdapat di Sangah (tempat sembahyang keluarga) atau di Pura. [7] Cawi adalah hiasan, isian, detail atau ornemen yang diterapkan pada pokok gambar di bagian busana, mahkota, rambut, dan lain-lain yang menghendaki isian detail. Sigar  adalah kontor atau aouline bentuk wayang yang dibuat dengan menjimplak dari pola yang terdapat pada kertas yang diletakkan di bawah permukaan kaca. [8] Prasi adalah lontar bergambar, serupa komik. [9] I Ketut Supir, dkk.  “Penerapan Setting Dekoratif pada Lukisan Kaca Nagasepaha Buleleng,” (Laporan Penelitian, STKIP Negeri Singaraja, 1995/1996). 
Biodata Penulis :
*HARDIMAN lahir di Garut, 7 Mei 1957. Lulusan Seni Rupa IKIP (kini UPI) Bandung. Staf pengajar di jurusan Seni Rupa Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Bali. Penyunting pelaksana Jurnal Kajian Budaya, Universitas Udayana (Unud) Denpasar. Menulis ihwal seni rupa di KOMPAS, GATRA, MEDIA INDONESIA, BALI POST, VISUAL ART, dll. Selain menulis, kerap mengkurasi pameran untuk beberapa galeri di Bali. Melakukan penelitian tentang seni lukis kaca Nagasepaha Bali sejak 1992 hingga 2000. 

Jro Dalang Diah

Tempuh Hidup seperti Susun Huruf Bali


Tanya saja dalang terkenal di Bali Utara, orang pasti langsung menjawab Jro Dalang Diah dari Dusun Delod Margi, Desa Naga Sepaha, Kecamatan Buleleng. Meski seniman sepuh yang bernama asli Ketut Negara ini sudah tak aktif lagi mendalang sejak tahun 1970-an, namun namanya masih lekat dalam ingatan masyarakat Buleleng, terutama para penggemar wayang pada 1950-an dan 1960-an. Bagi generasi muda, nama Dalang Diah pun ternyata tak terlalu asing. Pasalnya, meski usianya diperkirakan sekitar satu abad, ayah delapan anak dari dua istri ini sehari-hari masih tetap melakukan kegiatan melukis wayang kaca, jenis lukisan yang dirintisnya sejak tahun 1930-an. Ia juga tetap membuat wayang kulit, merancang bade, menulis huruf Bali dan selalu terbuka menyambut tamu asing atau lokal yang kerap mengunjunginya.

Memang, ia tak mampu lagi memainkan wayang di belakang kelir, namun sejatinya ia masih kuat berbicara berjam-jam dengan suara gemuruh penuh ekspresi disertai gerak tangan lincah dan penglihatan yang tajam. Satu-satunya kelemahan alami yang tampak dari sosok seorang Dalang Diah hanya pendengarannya yang mulai terganggu akibat dimakan usia. Namun begitu, toh berbincang-bincang dengan kakek 29 cucu dan 20 buyut ini berlangsung lancar, meski berkali-kali terjadi salah sambung antara pertanyaan dan jawaban. Hebatnya, meski sering nyerocos sendiri, ternyata semua kata yang keluar dari bibir rentanya menunjukkan bahwa seniman tua ini memiliki daya ingat dan pengetahuan hidup yang luas.
Berikut petikan wawancara Bali Post (dirangkum kembali berdasarkan wawancara dalam bahasa Bali).

BISA diceritakan kisah awal Anda tertarik dengan dunia melukis?
Sebelum sekolah, saya sudah biasa melukis di atas kertas dan ikut membikin bade bersama orangtua. Ayah saya Gede Wenten memang pintar melukis dan membuat bade. Saya tak pernah diajari secara khusus, tapi saya belajar sendiri dengan meniru-niru lukisan yang dibuat ayah. Saya belajar sambil membantu orangtua menyiapkan bahan warna, kertas dan lain-lainnya. Saya lalu bersekolah pada umur sekitar 20 tahun. Biasa, dulu orang sudah besar baru masuk sekolah. Di sekolah saya tak dapat pelajaran melukis, malah saya dipesan oleh para guru untuk membuat lukisan. Kalau dapat pesanan dari guru, biasanya saya dibebaskan bolos sekolah sampai tiga atau empat hari. Mulai saat itu saya mulai terbiasa melukis.

Lalu kapan mulai melukis wayang kaca?
Sejak masih bersekolah saya sudah menyukai dunia pewayangan karena ayah juga sering membikin wayang dari kertas dan kulit sapi. Saya juga suka melukis wayang di atas kertas. Saat itu saya sudah banyak mendapat pesanan dari tetangga dan saudara-saudara di Desa Padang Bulia, Penglatan dan sekitarnya, untuk membikin lukisan wayang. Nah, setelah usai sekolah pada 1935 saya bertemu orang Jepang yang membawa lukisan kaca. Lukisan itu berupa nyonya-nyonya. Saya penasaran waktu itu. Sisi kaca yang dilukis kelihatan jelek, sementara kalau dilihat dari sisi sebaliknya kelihatan sangat bagus.

Lalu Anda belajar dari orang Jepang itu?
Bukan. Saya tak pernah belajar dari orang Jepang itu. Saya hanya minta lukisannya untuk saya pelajari sendiri. Lukisan itu saya bongkar, lalu saya pelajari bagaimana caranya menaruh warna di atas kaca lalu menumpuknya dengan warna lain agar bisa kelihatan bagus jika dilihat dari sisi sebaliknya. Dari situ saya mencoba melukis wayang, lukisan yang lebih rumit dari nyonya-nyonyaan yang dibuat orang Jepang itu. Awalnya memang sulit, namun lama-kelamaan saya malah terbiasa melukis wayang di atas kaca.

Apa bedanya melukis di atas kaca dengan melukis di atas kertas?
Tentu berbeda. Urutan dalam melukis wayang kaca dilakukan secara terbalik. Warna yang paling atas digoreskan paling awal, sementara warna yang paling dasar dilukiskan paling akhir. Kalau melukis di atas kertas, warna dasar digores paling awal, sementara warna paling atas justru dilukis paling awal. Tumpukan warnanya terbalik.

Anda bisa melakukan keduanya dengan lancar?
Ah, saya ini orang bodoh. Beloge bakat gisiang, ini pekerjaan orang bodoh. Saya dan keluarga memang ditakdirkan untuk melakukan pekerjaan bodoh. Hanya orang bodoh yang melakukan hal-hal seperti ini. Orang pintar yang sekolahnya tinggi mungkin melakukan pekerjaan yang lebih besar.

Tapi, bukankah lukisan wayang kaca ini bisa terkenal hingga di luar negeri, bahkan menjadi ciri khas lukisan Naga Sepaha?
Ida Sang Hyang Widi memang kasihan kepada saya. Anak-anak ternyata sama dengan saya. Mereka ikut belajar melukis dengan cara meniru-niru pekerjaan ayahnya. Saya tak pernah mengajarinya secara khusus. Saya bersama generasi ini kemudian memperkenalkan lukisan kaca ke daerah lain sehingga menjadi dikenal orang. Saya sekeluarga sering melakukan pameran bersama di Taman Budaya Denpasar, di Gedung Sasana Budaya Singaraja dan tempat lain. Lukisan kaca juga banyak dipajang di hotel-hotel di Buleleng dan Badung.

Siapa saja yang mengoleksi lukisan kaca Naga Sepaha?
Banyak yang tak saya kenal. Tapi banyak dari mereka datang dari luar negeri, seperti Prancis dan Belanda. Bahkan banyak dari mereka yang datang sendiri ke Naga Sepaha. Tahun ini Pemkab Buleleng juga membawa beberapa lukisan wayang untuk diikutkan dalam promosi pariwisata ke Jerman. Orang yang paling saya kenal adalah Tuan dan Nyonya Hizler. Dia orang Prancis. Dulu, mereka sering mengambil lukisan saya. Malah wayang saya juga banyak yang dibelinya. Tapi sejak Tuan Hizler meninggal, Nyonya Hizler tak pernah datang ke sini. Katanya sekarang tinggal di Tejakula.

Lalu bagaimana ceritanya Anda memulai menjadi dalang?
Mungkin karena suka kepada wayang, pada tahun 1935-an juga saya diajak belajar mendalang oleh Jero Dalang Sekar dari Desa Penglatan, Buleleng. Uniknya, baru belajar 11 kali, saya sudah diminta mendalang di depan umum di Gitgit. Sejak saat itu saya lantas terus diminta mendalang ke Penglatan, Alas Angker, Silangjana dan sampai ke Buleleng Barat di Grokgak. Sepeteng-peteng, semalam-malaman saya terus mendalang. Sebulannya mungkin hanya istirahat tiga kali, sisanya terus berjalan mendalang ke desa lain. Bahkan, bukan hanya orang melakukan upacara neres kucit (menyunat anak babi) saja mengundang saya untuk mendalang, tapi orang neres pitik (menyunat anak ayam) juga menyuruh saya mendalang. Sehingga suatu kali ketika mendalang saya membuat percakapan antara Delem dan Sangut tentang upacara neres pitik tersebut. Ceritanya si Sangut heran, dalam sejarah tak ada orang neres pitik sampai ngupah wayang. Dijawab si Delem, itu karena dalang memang harus begitu. Tak pilih-pilih jenis upacara, pokoknya ngewayang. Mendengar percakapan itu, penonton pun tertawa.

Setelah itu Anda menjadi dalang terkenal di Buleleng?
Saya memang dikasihani Ida Sang Hyang Widi. Saya tak terlalu tahu bagaimana caranya ngewayang. Tapi pas duduk di asagan (tempat ngewayang), saya langsung tahu bagaimana jalannya orang menjadi dalang. Sejak itu, dalang lain tak ada yang berani mendalang di Naga Sepaha. Makanya, untuk di Desa Naga Sepaha dan sekitarnya, orang dari sejak anak-anak sampai punya anak empat tetap suka nonton saya ngewayang.

Belakangan ini apakah pernah menonton pementasan wayang dari dalang lain?
Pernah. Waktu istri meninggal, saya minta dalang dari Desa Tamblang untuk ngewayang. Katanya itu wayang genjek. Saya tak terlalu cocok dengan pementasan wayang itu. Tak bisa membikin penonton tertawa. Padahal kalau jadi dalang, sekali saja bicara sudah harus membuat penonton tertawa. Di Desa Petandakan dan di Desa Runuh, dulu orang-orang tak suka tertawa. Tapi ketika saya mendalang mereka ternyata bisa tertawa. Itu ujiannya jadi dalang.

Jadi, kuncinya "ngewayang" itu harus bisa bikin tertawa?
Kalau ingin wayang tetap disukai, ya harus tetap membuat orang tertarik untuk menontonnya. Selain pintar menarikan wayang dan ngeragrag (menggubah) cerita, juga harus pintar menyampaikan reragragan (gubahan) yang membuat orang tergelitik untuk tertawa. Reragragan yang sesuai dengan kehidupan dan masalah-masalah yang biasa dibicarakan orang sehari-hari. Misalnya nyanyian lucu; kacang kapri pula di diwang, meli lempog di Sudaji, sapunapi nyaratan tiang, tiang belog tan pe aji. Atau, bintang siang duur bulane, nasi galih pakon-pakonang, ngudiang ilang gelanan tiange, jalan alih takon-takonan. Itu yang disenangi penonton, pembicaraan orang sehari-hari.

Setelah berhenti, apakah tradisi mendalang diteruskan oleh anak dan cucu?
Saya berhenti mendalang sejak tahun 1970-an. Anak-anak tak ada yang meneruskan. Anak cucu lebih banyak mengikuti jadi pengukir wayang, melukis wayang kaca dan membikin bade. Wayangnya pun kini tak ada lagi, dikoleksi oleh Nyonya Hizler, hanya beberapa sisanya masih disimpan di rumah. Meski setiap hari dibikin, tapi tak terlalu banyak tersisa. Banyak yang dikoleksi orang lain. Selesai satu lukisan biasanya langsung diambil orang.

Anda juga selalu menulis huruf Bali, baik di pinggir lukisan kaca dan pada lukisan kertas?
Saya memang suka menulis Bali pada setiap lukisan. Tulisan itu semacam judul. Tulisan Bali itu suatu kesimpulan dari kisah perjalanan hidup kita dalam berkesenian. Dalam menempuh hidup berkesenian, melukis atau ngewayang, sama seperti kita menulis dengan huruf-huruf Bali yang indah, rapi dan rinci. Kalau menulis kata per kata untuk jadi kalimat, kita harus memikirkan huruf-huruf apa yang akan kita bikin, bagaimana bentuknya, lengkungannya, bagaimana gantunganya dan lain-lainnya. Dalam menempuh hidup juga begitu, harus dipikirkan tahap demi tahap.

Tulisan Bali Anda bagus. Apakah juga menulis di atas lontar?
Kadang-kadang. Tapi lebih banyak menulis di atas kaca untuk memberi keterangan dalam lukisan. Menulis di kaca juga punya tantangan sendiri. Huruf-hurufnya harus ditulis terbalik karena dibaca dari sisi sebaliknya. Bikin huruf biasa saja susah, apalagi membuat kalimat terbalik.
* Pewawancara:Adnyana Ole

BIODATA
Nama                  : Jro Dalang Diah
Nama lahir           : Ketut Negara
Tempat/tgl. lahir : Nagasepaha sekitar tahun 1900-an.
Alamat                 : Dusun Delod Margi, Desa Naga Sepaha,
                             Buleleng.
Pendidikan           : SR Buleleng tamat tahun 1935
Nama istri            : Men Diah dan Dasning

Anak:
1. Luh Diah
2. Made Suri
3. Nyoman Subrata
4. Ketut Suamba
5. Ketut Rempuh
6. Ketut Sekar
7. Ketut Sandi
8. Luh Darmadi
Cucu : 29 orang
Cicit : 20 orang

Penghargaan :
1. Dharma Kusuma (2000)
2. Penghargaan Seniman Tua (1992)
3. Dharma Kusuma Madia (1987)
4. Wija Kusuma (1985)
5. Penghargaan Pelestarian Budaya dari Pemkab Buleleng (2001)
6. Penghargaan dari Departemen Perindustrian (1990)

Sumber tulisan:  Bali Post, Minggu Kliwon, 13 Juli 2003 http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2003/7/13/pot1.html