80 Tahun Nagasepha "Survive" dari "Isolasi" Kemakmuran Pariwisata

Berita Bentara Budaya 26 Oktober 2009 
Putu Wirata Dwikora*
Pameran Seni Lukis Kaca Nagasepha di Bentara Budaya Bali, Ketewel, Gianyar, Bali, Jumat (23/10). Pameran yang akan berlangsung hingga 27 Oktober itu menampilkan karya-karya 12 pelukis kaca asal Desa Nagasepaha, Kabupaten Buleleng, termasuk pelaku pertama seni lukis kaca di desa itu yang kini berusia 100 tahun, I Ketut Negara atau lebih dikenal dengan nama Jro Dalang Diah.
 



Lukisan kaca di Desa Nagasepha, Buleleng, Bali utara, bertahan sampai kini—dengan sedikit perkembangan—kendati 80 tahun lebih sejak dikreasi oleh Jero Mangku Diah (1909), ia terpencil dari pasar: galeri, kolektor, dan balai lelang.


Pameran di Bentara Budaya Bali, 17-27 Oktober 2009, ini jadi pertanda, lukisan Nagasepha tetap eksis dan menurun dalam empat generasi. Ada sedikit perkembangan tematik dan teknik. Namun, sambutan apresiatif dari masyarakat yang dilihat dari respons perangkat pasar amatlah terbatas. Dibanding lukisan Kamasan, Ubud, atau Batuan, yang melahirkan pelukis dalam jumlah puluhan lebih, serta harga karya mereka bisa mencapai ratusan juta; lukisan-lukisan Nagasepha yang dipajang di Bentara Budaya Bali belum ada yang dijual dengan harga Rp 10 juta.


Harga tinggi memang bukan satu-satunya barometer untuk apresiasi dengan kualitas tinggi. Namun, kalau memerhatikan perkembangan seni lukis Bali mulai 1930-an sampai kini, di mana muncul nama dari generasi Lempad-Cokot sampai Bendi-Budiana, lambannya perkembangan seni lukis Nagasepha boleh jadi karena rendahnya dukungan lingkungan di sekitarnya. Nagasepha memang jauh dari ibu kota Singaraja ataupun Pantai Lovina. Apalagi Denpasar, Kuta, ataupun kampung turis Ubud. Dalam peta dan buku-buku perjalanan, Nagasepha juga tidak setenar desa dan kota wisata itu. Survive 80 tahun lebih dalam kondisi ”mengenaskan’’ seperti itu merupakan keajaiban di era serba kapital dan komersial zaman kini.


Seperti diuraikan Hardiman, kurator pameran yang dosen di Universitas Ganesha, Singaraja, lukisan Nagasepha berawal dari nama Jero Diah, seorang tamatan SR (Sekolah Rakyat). Pada 1927 Diah seorang dalang, pembuat wayang, dan juga petani di Desa Nagasepha. Ia menerima pesan untuk melukis wayang di atas kaca dari Wayan Nitia. Nitia membawa sebuah contoh lukisan Jepang. Tidak dibuat seperti ketika melukis di kanvas, lukisan kaca mesti sebaliknya. Dibuat di belakang permukaan kaca, karena itu pengerjaannya pastilah berbeda. Diah melewati proses coba-coba, mulai dari memilih cat yang bisa menempel di kaca, cara melukis yang mesti dikerjakan terbalik. Pada awalnya, hasil karyanya benar-benar terbalik karena ia berkarya menggunakan ”logika optik’’ seperti melukis langsung di permukaan. Dari kesalahan itulah ia belajar dan terus memperbaiki tekniknya.


Sejak itu, Dalang Diah membuat lukisan wayang kaca, dijual kepada tetangga dan desa sekitarnya. Jero Diah serta anak-anak cucu maupun tetangga yang ikut menggambar tidak pernah punya ambisi menjadi seniman dengan visi personal, seperti seniman-seniman Bali yang berkreasi di Ubud, Batuan, ataupun Kamasan. Karenanya, ketika pada 1970-an ada permintaan untuk memasukkan pemandangan sebagai latar belakang—seperti halnya lukisan kaca Desa Sukaraja, Jawa Tengah, dan Jelekong, Jawa Barat—mereka menerimanya, apalagi karena secara teknis mereka mampu menggarapnya.


Pasar
Perkembangan yang lumayan menarik muncul pada pelukis kaca yang aktif di era 2000-an ini. Dari yang dipamerkan di Bentara Budaya Bali, Ketut Santosa (lahir 1970), tamatan SMP, murid langsung Jero Diah, Ketut Suradi (lahir 1982), tamatan SMP, dan Ketut Samudrawan (lahir 1977), sarjana seni rupa; memperlihatkan pembaruan itu. Santosa menggunakan tokoh-tokoh pewayangan untuk setting masyarakat kontemporer, sementara Samudrawan memasukkan properti masyarakat modern ke dalam setting cerita pewayangan lama.


Dalam karya-karya Santosa, punakawan congkak Delem dan punakawan lihai Sangut, atau Tuwalen yang bijak, bisa hadir dalam peristiwa masa kini, entah itu kehidupan sosial politik, semisal kafe remang-remang, pemilihan kepala daerah, demonstrasi melawan undang-undang pornografi-pornoaksi, refleksi tentang terorisme, sindiran terhadap perilaku korupsi dan sebagainya.


Samudrawan memperlihatkan model sebaliknya. Hanuman yang sakti mandraguna dalam cerita Ramayana, dalam karya Samudrawan dilukiskan ngebut di atas sepeda motor, menabrak para raksasa yang mempertahankan Kerajaan Alengka, ekornya menyala dan menimbulkan kebakaran hebat di negeri Raja Rahwana itu. Kendati pesan dari gambar ini sangat umum, masuknya sepeda motor boleh jadi semacam representasi, betapa kendaraan produk negeri Sakura itu sedemikian merajalela di Bali, simbol dari berbagai hal: kemakmuran, kecepatan, budaya konsumtif, dan sebagainya.


Suradi lebih bervariasi. Ia eksploratif secara visual maupun teknik. Teknik realis, efek cipratan, dan dusel tampil bersama dengan teknik wayang yang sebelumnya sudah dikenal. Tokoh pewayangan digunakan sebagai metafora perilaku kekinian, misal Arjuna sebagai perlambang playboy, para punakawan yang jadi simbol dari perilaku hedonis.


Memang, secara kualitatif, Kamasan yang telah menjadi desa-kota dan mendapat kunjungan turis maupun intelektual dari berbagai pelosok Indonesia, sampai kini belum terdengar melahirkan ”avant-garde tradisi’’, seperti halnya Santosa, Suradi ataupun Samudrawan. Nagasepha, kendati ”terpencil’’ secara fisik maupun pasar, punya harapan untuk mengembangkan diri, seperti Batuan yang punya Bendi atau Ubud yang punya Ida Bagus Made.


Ida Bagus Made yang eksentrik bisa melukis keriuhan parade bade pengabenan yang ricuh, Bendi memasukkan helikopter, mobil, dan sepeda motor dalam lukisannya, sesuatu yang tidak jauh beda dengan inovasi Samudrawan, Santosa, ataupun Suradi ini. Keduanya sama-sama berhasil survive sepanjang 80-an tahun, kendati yang satu lebih makmur, yang satunya lagi masih merana.


Kendati pasar dan kapitalis sering kali dihujat oleh sebagian seniman—yang sebagian di antaranya justru menjadi pelayan pasar paling setia—Nagasepha menjadi bukti, tanpa pasar yang cukup, 80-an tahun eksistensinya adalah perkembangan yang lamban dan merana.


*Putu Wirata Dwikora, Pengamat Seni, Tinggal di Denpasar

0 comments: